Mesin tanam cepat berbasis teknologi “Chi Tajok”, ciptaan Syardani M Syarif. | Istimewa |
LANGKAH peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh
melalui pengembangan sektor pertanian belumlah optimal, termasuk pemanfaatan
lahan-lahan kosong agar sektor pertanian terus berkembang dan menjadi penopang
pertumbuhan utama ekonomi Aceh.
Sektor ini menjadi penting, sebab ada sekitar 60 persen keluarga
di Aceh yang menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Demikian dikemukakan Syardani M Syarif atau yang akrab disapa
Teungku Jamaika, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang berhasil menciptakan
mesin tanam cepat berbasis teknologi. Mesin yang diberi nama “Chi Tajok” ini
dinilai akan memudahkan petani menanam bibit, sejenis biji-bijian seperti
jagung, kedelai, kacang ijo dan sejenisnya. Mesin ini masih bisa di ‘upgrade’
menjadi mesin siram, pemupukan, penyiangan dan mengangkut hasil panen.
Dijelaskannya, di Aceh masih tersedia ribuan hektar lahan kosong
yang tidak digunakan, sehingga menjadi lahan tidur. Begitu juga dengan lahan
tadah hujan yang hanya digunakan pada musim hujan khusus untuk tanaman Padi
saja. Ketika memasuki musim kering, tanah tersebut terbengkalai dan tidak
dimanfaatkan untuk tanaman apapun sehingga hanya tumbuh rumput liar.
“Diperlukan teknologi modern dan sistem manajemen pengelolaan yang
profesional. Di Aceh, sinar matahari cukup tersedia sepanjang tahun, sumber air
juga melimpah, tersedia sungai atau alur di setiap kecamatan, tinggal disedot
airnya saja,” ujar pria bergelar Komputer ini.
Pasca Damai Aceh, pria kelahiran Meurandeh Paya, Sampoyniet, Aceh
Utara, 5 April 1977 ini, bercita-cita menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi
masyarakat Aceh, khususnya para petani. Mengangkat harkat dan martabat petani
adalah obsesinya.
Dan Jamaika berhasil menciptakan satu mesin
penanam otomatis yang diberi nama Chi Tajok. Dengan mesin ini, petani bisa
menanam lebih cepat dan lebih simple. Mesin ciptaan lelaki yang fasih berbahasa
Inggris ini diikutkan dalam lomba Teknologi Tepat Guna (TTG) dan meraih juara
baik tingkat provinsi maupun nasional.
Mesin Tanam Otomatis “Chitajok” berbahan material sederhana, bisa
dimodifikasi sesuai kebutuhan dan sampai saat ini belum diproduksi massal. “Gohlom ta komersilkan (belum kita
komersilkan), tapi siapapun yang berminat memiliki mesin tersebut, saya pinjamkan,”
kata Jamaica kepada Tabangun Aceh, di Banda Aceh.
Lebih lanjut Jamaika menceritakan, ide tersebut bermula ketika ia
melihat kelelahan para petani Aceh, saat musim tanam tiba. Selain melibatkan
banyak orang, proses penanaman juga membutuhkan waktu yang lama. Mesin itu,
kata Tengku Jamaika, dirakit dari bahan-bahan yang mudah didapat di lingkungan
sekitar. Misalnya, besi holo, ban grek, gear belakang sepeda balap, pengatur
rantai sepeda balap, besi padat, lahar duduk, besi plat, selang karet, nylon,
dan jeriken minyak bekas.
Cara kerjanya sangat sederhana dan tidak membutuhkan banyak tenaga
manusia. “Petani hanya perlu mendorong alat ini sesuai arah yang diinginkan.
Mesin secara otomatis mengorek tanah untuk lubang tanam, lalu menjatuhkan
bibit, dan menutup kembali lubangnya dengan tanah. Sekali jalan, mesin ini bisa
menanam dua baris tanaman,” jelasnya.
Jarak antara satu bibit tanaman dengan bibit berikutnya juga bisa
diatur sesuai pilihan. Sedangkan bagi petani yang memiliki lahan yang sangat
luas, lanjut Jamaika, mesin tanam miliknya itu bisa digabungkan dengan traktor.
Rekrut dan Beri Peluang Pemuda
Aceh
Menurut Jamaika, banyak anak-anak muda Aceh yang kreatif dan
inovatif, hanya saja selama ini mereka tidak maksimal mengembangkan diri,
karena minimnya fasilitas. Ia ‘menantang’ dinas terkait di lingkup Pemerintah
Aceh untuk memanggil generasi muda Aceh yang telah melahirkan karya inovasinya.
Selain Pemuda, kata Jamaika, siswa-siswi SMK diseluruh tanah
rencong ini juga punya potensi untuk menjadi inovator pembaharuan jika dibina
secara sistematis dan berjenjang.
“Ini merupakan aset yang paling berharga. Mereka tak harus
mengemis tapi Pemerintah lah yang harus memberi peluang kepada mereka. Rekrut
dan panggil, fasilitasi dan bina secara kontinyue untuk selanjutnya diterjunkan
ke tengah-tengah masyarakat,” ujarnya.
Keterampilan mereka, terang Jamaika, sangat berguna untuk
pendampingan dan menggerakkan kegiatan produktif di perdesaan. Hal tersebut,
juga sebagai upaya menumbuh kembangkan kemandirian para pemuda dan menjadikan
desa sebagai pusat pertumbuhan inovasi untuk perbaikan taraf kehidupan yang
lebih baik di masa depan.
“Pada gilirannya, pemuda-pemuda Aceh bangkit melakukan inovasi dan
kegiatan produktif, sehingga desa menjadi inspirasi pembaharuan dan perubahan.
Sangat simpel kan? Nah, ini yang harus dibenahi segera,” pungkas mantan
kombatan GAM ini. [ridha]
Dimuat di edisi cetak - TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 51 | OKTOBER 2015
0 Comments