Tanpa
kita sadari, kehidupan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) saat ini menjadi
terpisah dengan masyarakat normal lainnya karena sistem pendidikan SLB telah
menghambat terjadinya interaksi sosial mereka dalam masyarakat normal.”
--
Hj. Niazah A Hamid --
Ketua
Tim Penggerak PKK Aceh |
KEBERADAAN sistem pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang selama ini
diperuntukkan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau difabel
tanpa disadari telah membangun tembok pemisah antara anak-anak berkebutuhan
khusus dengan anak normal lainnya yang menikmati pendidikan umum seperti di
SMU, SMK dan lainnya.
“Tanpa kita sadari, kehidupan anak-anak berkebutuhan
khusus saat ini menjadi terpisah dengan masyarakat normal lainnya karena sistem
pendidikan SLB telah menghambat terjadinya interaksi sosial mereka dalam
masyarakat normal. Akibatnya, kelompok difabel menjadi komunitas yang
terasingkan dari dinamika sosial di masyarakat,” kata Ketua Tim Penggerak PKK
Aceh, Hj. Niazah, A Hamid, saat membuka Seminar Internasional tentang
Educational Therapy untuk anak yang berkebutuhan khusus di Gedung Aceh
Community Centre (AAC) Sultan Selim II, Banda Aceh, Rabu (30/3).
Kondisi ini menurut Ummi Niazah diperburuk dengan
terkucilnya pergaulan anak-anak ABK yang keluarganya terkadang sibuk, sehingga
perhatian kepada anak kurang maksimal dan menjadikan hubungan kurang harmonis
antara orangtua dan anak.
“Banyak masyarakat dewasa ini malah merasa keberadaan
ABK bukan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitarnya sehingga
perkembangan anak ABK ini kian terhambat,” katanya.
Untuk mencegah berkembangnya situasi seperti ini,
Niazah berharap sistem pendidikan dengan pola inklusif yang telah dikembangkan
oleh Pemerintah dapat menjadi solusi sehingga terjadinya proses transformasi
pengetahuan tanpa hambatan-hambatan khusus kepada setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Dengan adanya sekolah yang menerapkan pola inklusi,
Ketua Dekranasda Aceh itu optimis masa depan anak berkebutuhan khusus akan
lebih baik, karena sekolah ini membekali anak untuk bisa hidup mandiri dalam
hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.“Sekolah dengan pola
pendidikan inklusif bukan saja dapat merubah persepsi masyarakat terhadap ABK,
tapi juga dapat memecahkan hambatan lainnya seperti hambatan etnik, gender,
status sosial, kemiskinan dan lain-lain,”terangnya.
Meski demikian, Ummi Niazah mengatakan pola pendidikan
inklusi ini belum dapat berjalan dengan maksimal karena terbatasnya jumlah dan
kapasitas guru ahli di bidang pendidikan inklusif.“Akan tetapi, saya bersyukur
mendengar ada beberapa seperti Yayasan Rumah Kita Indonesia dan The Nanny
Children Center (TNCC) yang telah mencoba menerapkan bentuk educational therapy
sebagai alternatif bagi orangtua, guru dan praktisi dalam mendidik anak
berkebutuhan khusus,” ungkap Niazah A Hamid.
Menurutnya, dengan adanya terapi seperti ini, ia
berharap dapat mendorong pola pendidikan inklusif berjalan efektif dan lebih
mudah, sehingga peran keluarga dan sekolah menjadi lebih optimal dalam
mendukung pola belajar anak.
Acara Seminar Internasional tentang Educational
Therapy untuk anak yang berkebutuhan khusus tersebut turut menghadirkan
pemateri dari ahli bidang pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, Dr.
Norfishah Mat Rabi dari Universiti Sain Malaysia dan dihadiri oleh ratusan
peserta dari berbagai lembaga pendidikan anak-anak seluruh Aceh. [ridha]
0 Comments