Menggenjot Pembangunan Aceh Singkil

"Terkait problem ketimpangan, pemerintah harus melakukan intervensi dengan menjadikan CSR sebagai skema, patron untuk memberdayakan masyarakat miskin sekaligus mendorong pembangunan secara lebih merata dan berkeadilan di Singkil."

Singkil
, bumi Aceh yang kaya sejarah. Tak mungkin berbicara tentang sejarah Islam dan melayu di Indonesia tanpa menyebut Singkil sebagai poros peradabannya. Namun di sisi lain kemegahan historis ini ternyata tidak sinambung dengan kondisi terkini kabupaten di ujung pantai Barat-Selatan Aceh ini. Aceh Singkil adalah satu-satunya kabupaten di Aceh dan dua di Sumatera yang masuk dalam kategori daerah tertinggal di Indonesia.

Aceh Singkil butuh perhatian dan penanganan khusus dari pengambil kebijakan pembangunan di negeri ini. Ada beragam persoalan cukup kompleks yang masih membelenggu Aceh Singkil hingga saat ini. Setidaknya ada empat isu krusial, yaitu lingkungan, kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan, resiko bencana (banjir), dan SARA, yang melingkupi diskursus pembangunan Singkil.

Dari pengalaman melakukan kajian etnografi kemiskinan di Aceh Singkil bersama antropolog muda pemerhati Singkil, Muhajir Al-Fairussy, pada tahun 2015 lalu, dengan gamblang saya menyaksikan realitas ini. Isu deferostrasi dan kerusakan ekologis menjadi masalah potensial di sana seiring dengan konversi massif lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Problem ini tampak nyata berkelindan dengan isu kedua, dengan fakta kemisikinan dan ketimpangan sosial.

Akses atas kepemilikan lahan sawit yang hanya terbuka bagi kelas masyarakat dan korporasi bermodal besar, menyebabkan akumulasi modal hanya terjadi dan tersentralisasi pada tingkat korporasi dan individu-indvidu pelaku ekonomi besar, tidak menyebar keseluruh lapisan masyarakat Aceh Singkil. Potret riil ini misalnya dapat kita lihat dari geliat kota Rimo, Kecamatan Gunung Meriah. Setidaknya ada lima bank yang beroperasi di kota ini, mengindikasikan kencangnya perputaran uang dari ekonomi sawit di daerah ini, sesuatu yang tampak menonjol untuk seukuran kota kecamatan. Namun cobalah tengok tidak jauh di pinggiran kota Rimo, realitas kemiskinan penuh nestapa begitu kental menyelimuti kehidupan sebagian besar warga Singkil yang gagal menjadi penikmat dari hiruk pikuk bisnis sawit ini.

Critical point dari problem ini adalah terletak pada sejauh mana pemerintah kemudian sebagai pengambil kebijakan serta pemangku kepentingan lainnya bisa memastikan keseimbangan antara social and ecoligical cost (resiko sosial dan ekologis) dengan economic benefits (manfaat ekonomi), dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah ini. Ini yang harus dirumuskan dalam skema kebijakan pemerintah, baik di level nasional, provinsi, maupun kabupaten. Terkait problem ketimpangan, pemerintah juga harus melakukan intervensi dengan menjadikan CSR (Coorporate Social Responsibility), sebagai skema, patron untuk memberdayakan masyarakat miskin sekaligus mendorong pembangunan secara lebih merata dan berkeadilan di Singkil.

Kemudian, infrastruktur juga masih menjadi masalah, terlebih dengan kondisi Aceh Singkil yang rawan bancana banjir dan beberapa daerahnya yang masih kesulitaan dengan akses transportasi. Jadi ada dua arah sekaligus manfaat pembangunan infrastruktur di sana. Pertama untuk pengendalian banjir, dan kedua untuk membuka isolasi wilayah. Pengendalian banjir adalah kebutuhan yang sangat mendesak, karena memang daerah ini sangat menderita dengan siklus banjir tahunan akibat meluapnya sungai Singkil.

Karena itu status sebagai daerah tertinggal harus dimanfaatkan betul sebagai momentum untuk mendorong komitmen pemerintah dan para pihak untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap persoalan banjir ini, tidak lagi cilet-cilet, tambal sulam seperti yang selama ini terjadi. Sementara untuk membuka wilayah dari isolasi, jembatan Kilangan penghubung kota Singkil dengan kecamatan Kuala yang pembangunannya telah dirintis di era ZIKIR lalu sudah semestinya dapat dituntaskan untuk menghentikan siklus ketimpangan pembangunan sekaligus menjadi urat nadi prakondisi bergeliatnya perekonomian masyarakat di daerah pesisir ini.

Sentimen SARA juga masih sangat kental di Aceh Singkil menjadi persoalan laten yang sangat rentan hingga berpotensi maletup ketika terpicu provokasi. Pemerintah harus bersinergi untuk memastikan sentimen-sentimen SARA ini tidak berakumulasi menjadi bara konflik diantara warga masyarakat setempat. Pemerintah tidak boleh lagi berperan seperti “pemadam kebakaran”, baru turun tangan setelah konflik terjadi. Oleh karena itu penguatan forkompinda dan forum kerukunan antar umat beragama (FKUB), sudah seharusnya dibangun untuk mencegah sedini mungkin potensi konflik agar tidak meledak menjadi konflik nyata yang menelan korban harta dan nyawa sebagaimana terjadi beberapa waktu yang lalu.

Inilah empat masalah mendasar pembangunan di Aceh Singkil. Namun dengan segala problematika dan kebutuhan pembangunannya, daerah ini sendiri bukannya tanpa potensi, bahkan besar. Pulau Banyak misalnya, merupakan destinasi wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dengan keindahan baharinya yang masih sangat asri dan minim polusi, pulau ini adalah destinasi wisata favorit baru di Aceh, diluar Sabang. Trend kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau ini pun terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.

Pembangunan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan oleh tipikal daearah kepulauan seperti sarana transportasi jalan, pelabuhan (penyeberangan) instalasi air bersih, listrik, dan akomodasi, sudah seharusnya mendapat perhatian maksimal dalam rangka memastikan kemajuan kepariwisataan di daerah ini dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi daerah dan masyarakat Aceh Singkil.

Di sektor perikanan, dengan luas laut 2.652,92 km persegi dan produksi ikan tangkap 11.172,03 ton per tahun, sektor perikanan Singkil menyimpan potensi yang sangat menjanjikan. Sejauh ini, karena berbagai alasan potensi perikanan Aceh Singkil belum tergarap secara maksimal, padahal perairan Singkil dengan pulau-pulau disekitarnya hingga ke kuala Singkil adalah area berpijah ikan-ikan kualitas ekspor. Karena itu aplikasi teknologi tangkap yang lebih maju, pemberdayaan kelompok nelayan, pembangunan sarana dan prasarana, dan pengembangan industri perikanan otomatis sangat dibutuhkan untuk membangun sektor andalan ini.

Sedikit banyak inilah gambaran tentang apa yang bisa kita lakukan untuk Aceh Singkil. Cukup kompleks, tapi dengan sinergi pemerintah mulai dari pusat, provinsi, dan kabupaten, serta partisipasi berbagai pihak, langkah besar ini Insya Allah akan dapat kita emban dengan baik. Semoga!

  • Oleh : Bulman Satar
Penulis adalah Antropolog, Praktisi Pembangunan Aceh.

Dimuat di edisi cetak - TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 67 | Agustus 2017

Post a Comment

0 Comments