Basis kemajuan sesungguhnya adalah iptek, ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi adalah wujud dari apa yang kita sebut sebagai penemuan (invention). Penemuan-penemuan sepanjang sejarah adalah bagian yang terpisahakan dari dinamika peradaban manusia. Penemuan lahir sepanjang sejarah berkat adanya kualitas kritis manusia untuk mempertanyakan sekaligus mencari jawaban atas berbagai tantangan kehidupannya. Proses-proses ini kemudian melahirkan ide-ide kreatif manusia, baik yang timbul secara individual maupun kelompok, lalu diterima dan diterapkan secara luas sebagai bentuk ilmu dan teknologi.
Penemuan prinsip-prinsip tentang bagaimana hukum alam bekerja memungkinkan manusia
mengembangkan secara sistematis apa yang kita sebut sebagai ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan lalu memungkinkan manusia meyiasati dan merekayasa berbagai
potensi dan daya dukung alam dan sosial untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Bentuk-bentuk rekayasa ini lalu melahirkan applied sience
(ilmu terapan) yang melahirkan bentuk-bentuk teknologi yang mengacu kepada
hukum-hukum mekanik alam, dan pure science (ilmu murni) dalam bentuk ide dan
prinsip-prinsip tentang social order (ketaraturan sosial), dimana
keduannya akan terus berkembang, berevolusi menembus batas-batas kemungkinan
manusia.
Satu keniscayaan bahwa satu bentuk ilmu pengetahuan atau teknologi akan terus berevolusi untuk menstimulasi lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan atau teknologi baru lainnya. Jadi ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat sangat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Inilah yang memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung seperti siklus reproduksi yang tak habis-habisnya, dan ini menjadi modal bagi manusia dalam menjawab segala tantangan hidupnya yang semakin kompleks dan berubah-ubah.
Reproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi ini dapat kita lakukan dengan eksplorasi dan verifikasi ulang melalui kegiatan penelitian atau riset. Kesadaran akan
pentingnya proses reproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan
kualitas hidup manusia inilah yang telah menjadi dasar bagi berkembangnya
paradigma Pembangunan Berbasis Riset
(Research-Based Development).
Penelitian/riset telah diterima secara luas sebagai tahapan penting yang memberikan landasan dan kerangka kerja objektif bagi formulasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Temuan-temuan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh aktivitas penelitian/riset memberikan rumusan-rumusan valid yang sangat berguna dalam praksis pembangunan sehingga potensi malpraktek dan kegagalan dapat dihindari, sekaligus memastikan proses pembangunan tepat guna dan sasaran sehingga pada gilirannya betul-betul dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Terutama di negara-negara maju, katakanlah seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Italia, Perancis, dan negara-negara maju lainnya, riset bukanlah pendekatan baru dalam praktek-praktek pembangunan. Mereka telah memiliki tradisi yang cukup panjang dalam menerapkan pendekatan pembangunan yang berbasis pada hasil-hasil riset/penelitian. Konsistensi mereka untuk menjadikan program-program riset/penelitian sebagai bagian integral dari program-program pembangunan telah mendorong mereka mencapai kemajuan pesat dalam segala aspek kehidupan dan membuat mereka superior dibanding dengan negara-negara lain di dunia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia, khususnya Aceh? Pendekatan pembangunan yang menilai pentingnya kontribusi dunia keilmuan dalam pembangunan sebenarnya telah direspon sejak lama oleh pemerintah. Secara struktural dalam tata kelola pemerintahan kita dikenal adanya unit kerja “Litbang” (Penelitian dan Pengembangan), dengan tugas pokok dan fungsi melakukan kajian-kajian dan inovasi yang hasilnya diharapkan bisa menjadi referensi dan dasar yang objektif bagi formulasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah. Namun sayangnya kita bermasalah dengan konsistensi.
Dalam
kurun waktu yang cukup lama idea research-based development
di negeri ini telah
dibajak oleh paradigma “pembangunan berbasis keinginan” yang menyebabkan
banyaknya terjadi kasus-kasus “malpraktek pembangunan”, hingga membuat
pembangunan kita menjadi salah arah dan sia-sia. Inilah kenyataan yang terus
kita hadapi. Inilah yang membuat negara dan bangsa kita tertinggal semakin jauh
dari negara-negara lain, bahkan paling dekat dengan negara tetangga kita
sendiri Malaysia, yang tahun 1970-an dan 1980-an masih belajar dari kita.
Pertanyaannya, apakah kondisi ini akan kita biarkan begini terus atau kita akan
melakukan perbaikan?
Penulis adalah PNS di Bappeda Aceh,
email: abul_03@yahoo.com
Dimuat di edisi cetak - TABLOID TABANGUN ACEH - EDISI 30 | Maret 2013
0 Comments